Sekarang, kedatangan sosial media serta tehnologi yang berkembang cepat sudah memengaruhi bagaimanakah cara penduduk memandang seseorang politisi termasuk juga beberapa calon presiden atau kepala daerah. Demikian sebaliknya perubahan ini pula memengaruhi langkah politisi dalam pelajari mengenai ciri-ciri pemilih atau penduduk. daftar caleg kota bekasi bisa menjadi solusi. Vann R. Newkirk II dari The Atlantic menulis penjelasan panjang bertopik "How Redistricting Became a Technological Arms Race" dan satu video pendek berdurasi 3,5 menit dengan judul "How Politicians Can Use Big Data to Win Election". Dia menuturkan bagaimana perubahan tehnologi mendatangkan big data yang digunakan beberapa politisi untuk “memanipulasi” lokasi penentuan lewat cara gerrymandering serta microtargetting. "Gerrymander" atau "Gerrymandering" adalah panggilan satir dari Harian The Boston Gazette berkaitan hasil Pemilu Gubernur Massachusetts, AS pada Maret 1812. Calon Gubernur Elbridge Gerry yang kalah mutlak dalam pencapaian nada justru keluar menjadi pemenang pemilu yang manakah kemenangannya dipastikan pencapaian nada pada beberapa distrik bukan berdasar pada jumlahnya masyarakat. Gerrymandering ialah kombinasi dua kata “Gerry” serta “Salamander”. Gerry ialah calon gubernur Elbridge Gerry. Sedang Salamander ialah sebaran daerah penentuan dengan dikit masyarakat yang dimenangkan Gerry, yang bila dipetakan mirip kadal raksasa. Dalam konstitusi AS, pemerintah bisa mengotak-atik atau mengambil keputusan batas-batas dapil di negara sisi seperti yang dikerjakan Elbridge Gerry. Skema mengotak-atik dapil ini seringkali dikerjakan untuk memenangi penentuan serta menurut Newkirk, strategi Gerrymandering jadi tambah lebih berlebihan sesudah hadirnya big data. Sebelum lahirnya tehnologi komputasi serta kedatangan big data, beberapa politisi umumnya mengkaji kekuatan pencapaian nada berdasar pada distrik contohnya dengan membagi dapil berdasar pada ras atau mayoritas-minoritas. Sesudah big data, beberapa politisi bisa mendulang beberapa info sekecil-kecilnya dari beberapa pemilih. Dengan memakai big data, beberapa politisi dapat memetakan demografi, riwayat peran pemilih dalam politik, pandangan politik pemilih sampai masalah sepele seperti mengkonsumsi alat, kegiatan di sosial media sampai status kepemilikan rumah, mobil, atau kapal. Dalam pemilu AS 2016, info seperti ini digunakan Donald Trump dengan menggandeng Cambridge Analytica untuk mengkaji data masyarakat. Dari data-data itu termasuk juga beberapa survey, beberapa analis bisa memastikan lokasi manakah yang punya potensi jadi lokasi pemenangan, atau distrik manakah saja yang penduduknya bisa di pengaruhi untuk memenangi Donald Trump. Kampanye yang dikerjakan juga didasarkan pada apakah yang diinginkan atau diperlukan penduduk. Tiap-tiap masyarakat di beberapa lokasi pasti melawan rumor yang berlainan. Contohnya lokasi A bergelut dengan rumor lingkungan, atau lokasi B yang sering dirundung teror. Dengan big data, Trump serta beberapa analisnya bisa memperlancar kampanye pas tujuan untuk menanggapi keperluan masyarakat. Ini umumnya diketahui dengan microtargeting. Diluar itu, big data ikut dapat menolong Trump mendapatkan data berkaitan masyarakat manakah saja yang bisa di pengaruhi lewat iklan. Hingga wajar saja bila dia sering menyerang Clinton melalui pelbagai iklan. Taktik ini sukses dikerjakan Trump. Dia juga mendapatkan nada di beberapa distrik kecil sampai dapat mengambil nada di basis-basis tradisionil Hillary Clinton. Contohnya Pennsylvania. Dari beberapa survey, lokasi ini dijagokan akan dimenangkan Hillary, berkaca dari pemilu 2012, Barack Obama dari Demokrat dapat pimpin di negara sisi ini dengan kemenangan 5,4 % diatas calon lawan. Sayangnya, Donald Trump dapat merampas kemenangan di lokasi itu dengan kuasai 48.2 % nada. Partai Republikan yang menaungi Trump sukses mengatur 13 distrik dari 18 distrik di Pennsylvania. Kemenangan itu membuat Trump kantongi 20 electoral vote. Di negara sisi Florida, Clinton optimistis akan memenangi lokasi yang mempunyai 29 electoral vote itu dengan suport pemilih Hispanik. Akan tetapi suport Trump dari pemilih kelas pekerja membuyarkan keinginan Clinton. Walau sebenarnya, pada pemilu 2012, Barack Obama dapat membawa Demokrat pimpin 0,9 % nada di Florida. Cara pemakaian big data ini pada intinya bukan perihal asing dalam pemilu AS serta awal mulanya sempat dipakai oleh George W. Bush dalam kampanye pemilihan presiden AS 2004. Kampanye Bush manfaatkan big data serta microtargeting dalam menjadi taktik kampanye politik. Begitu juga dengan Barack Obama. Team kampanye Obama bahkan juga membuat team analis data yang terbagi dalam 100 staf analis untuk pastikan tujuan pemilih. Kedatangan big data di ranah politik India ikut sudah berjalan semenjak pemilu 2014. Partai Hindu nasionalis BPJ membuat team analis data yang terbagi dalam 100 orang pakar tehnis serta konsultan untuk memenangi Narendra Modi. Pemakaian Big data di Indonesia belum juga setenar di AS serta Eropa. Anggota Komisi I DPR RI Nurdin Tampubolon mengutarakan jika Indonesia masih tetap susah untuk migrasi dari skema analog ke skema digital sebab terhambat kurangnya infrastruktur. "Pemerintah sepantasnya membuat kebijaksanaan yang menggerakkan pembentukan serta pemakaian big data. Ini yang selekasnya diwujudkan," kata politisi Hanura pada Antaranews. Kurangnya infrastruktur memang tetap jadi fakta kendala. Akan tetapi Irwan Hadiansyah pendiri Trenz Digital menolak. Menurut Irwan, Indonesia mempunyai kekuatan data yang melimbah akan tetapi jarang digunakan. Dia sempat menulis bagaimana kekuatan data dari 1 juta masyarakat Jakarta yang memberikan KTP dan formulir yang berisi beberapa info diri bisa jadi keuntungan besar buat kampanye Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada pemilihan kepala daerah Jakarta kemarin. Akan tetapi, kelihatannya data itu belumlah dioptimalkan untuk pemenangan Ahok-Djarot. “Peran tehnologi digital dalam kampanye politik semestinya bukan kembali diperlakukan cuma untuk alat untuk bagikan alasan politik kedaluwarsa, tetapi untuk mengubah kampanye politik jadi lebih 'rasional'. Kampanye politik yang digerakkan berdasar pada bukti, data, serta analisa valid,” tulisnya dalam "Taktik Memenangi Kampanye Politik Dengan Manfaatkan Big Data serta Micro-targeting". Banding dengan Kenya yang telah manfaatkan big data dalam pemilu. Presiden Kenya Uhuru Kenyatta menggandeng Cambridge Analytica pada pemilu tahun 2013 untuk memproses data pemilih untuk mendatangkan kampanye yang pas tujuan. Dari analisa data, ada dua kelompok sebagai konsentrasi kampanye yang dilancarkan Uhuru, yaitu lapangan kerja dan rumor kekerasan suku yang sering berlangsung. Beralihnya Kenya ke big data tidak terlepas dari bukti jika masyarakat Kenya ialah pemakai sosial media yang sangat aktif di Afrika. Menurut laporan BBC, jumlahnya pemakai hp di negara ini melonjak dari 8 juta di tahun 2007 jadi 30 juta di tahun 2013, serta 88 % masyarakat sekarang ini bisa terhubung internet lewat hp mereka. Kekuatan itu dapat juga dikerjakan di Indonesia mengingat pemakai hp yang sampai 160 juta termasuk juga hadirnya beberapa instansi survey sampai perusahaan yang sekarang mulai memakai big data seperti Go-Jek. Ditambah lagi, dua calon capres dengan kepopuleran paling tinggi yakni Joko Widodo serta Probowo alami penurunan jumlahnya pemilih menurut survey Polmark Research Center (PRC). Fakta berkurangnya popularitas ke-2 tokoh ini bisa jadi bahan pelajari team kampanye semasing calon. Serta big data dapat mainkan peranan disana sebelum diturunkan ke palagan pemilu.
0 Comments
Leave a Reply. |
AuthorSelamat datang di serba serbi artikel semoga bermanfaat dan dapat membantu.. Archives
July 2019
Categories |